Pram, Mistik, dan Seks
Pernahkah Pram melihat hantu? Percayakah dia pada sesuatu yang gaib? Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar, menolak semua hal tak rasional.
Hantu, bagi Pram, tak lebih dari fosfor yang keluar dari tubuh mati membusuk. Dia, misalnya, mengaku melihat apa yang dikira orang hantu. Diceritakan, saat masih tinggal di Tanah Abang, Jakarta, Pram pernah mengalami hal aneh. Di rumah itu, istrinya kerap diganggu makhluk halus sampai berteriak-teriak dan lari ketakutan.
Suatu malam, Pram tidur di kamar itu sendirian. “Malam itu, dari lubang masuk cahaya api,” ujarnya. Berbentuk pelangi, cahaya itu memutar dan mendekati dia. Pram pun menggertak, “Pergi, keluar!” Cahaya api itu pun lenyap. Lalu percayakah Pram? “Saya enggak mau percaya,” ujarnya. Bagi dia, hal-hal gaib itu tak berguna dan menghambat kemajuan berpikir (halaman 209-210).
Ada banyak kisah yang jarang didengar dari Pram tertuang di buku ini. Pram bercerita segi paling pribadi, dari pengalaman mistik sampai seks. Dia, misalnya, pernah dipasok ilmu kebal oleh seorang dukun saat menjadi gerilyawan masa revolusi kemerdekaan. Dalam ritual itu, lehernya digorok parang oleh si dukun dan tak mempan. Namun, dia toh tetap tak percaya. Anehnya, seperti diakui Pram, saat diberondong senapan mesin oleh serdadu Inggris di pertempuran Bekasi-Kranji, dia selamat.
Atau hal lain: sewaktu remaja dia pernah diajari ibunya ilmu patirogo, semacam jiwa keluar dari tubuh untuk bertemu para arwah. Dia sempat juga berlatih ilmu itu. Pram mengaku, kelak dia melakoninya kembali saat jiwanya sedang krisis sebagai tahanan Orde Baru, di penjara Salemba. Soal seks, bisa tercengang membaca kisah Pram: mengapa dia ditaksir perempuan Barat, alasannya berselingkuh, dan sampai tidur dengan mereka.
Tafsir bebas
Buku ini menarik karena seperti menghidupkan kembali Pram dan pikirannya. Semangat dan sifat keras kepalanya terhadap kekuasaan yang menindas terasa dalam setiap topik percakapan. Dibagi dalam tujuh bab. Cerita 1 sampai Cerita VII, beragam soal dikupas. Selain ihwal mistik dan seks, Pram juga bicara proses kreatifnya sebagai pengarang, tentang PKI, Lekra, Aceh, Papua, presiden, sastra, terorisme, sejarah, film, dan sebagainya. Model tanya jawab sengaja dipilih agar tak merusak gaya khas Pram yang berbicara dengan diksi dan alur yang khas.
Percakapan itu juga menjadi semacam perjumpaan dua generasi. Bagi generasi lebih muda, Pram adalah ikon pemantik keberanian. Bagi mereka, tak ada sastrawan di republik ini yang novelnya dibaca dengan tangan gemetar seperti karya Pram. Karyanya mampu menyuntik keberanian melawan kediktatoran.
Itu sebabnya, nyaris seluruh pertanyaan yang diajukan seperti mewakili keingintahuan generasi baru pasca kediktatoran, tentang suatu masa gelap dan yang dulu tak terjawab, semisal pembantaian komunis pasca-1965. Dia juga bicara kekacauan politik dari para pemimpin republic ini dari setiap zaman.
Para penulis buku ini melakukan wawancara intensif, mulai 2001 sampai 2004. Segala percakapan dalam ratusan kali tatap muka itu direkam. Setiap pecan dalam kurun waktu itu, kecuali di 2003 dan 2004. Mereka menyambangi Pram di rumahnya, di Bojong Gede. Itu sebabnya, wawancara mengalir bak obrolan harian.
Pada cerita I, Pram membuka proses rahasia proses kreatifnya sebagai pengarang. Dia tak percaya bakat dan teknik. Dia percaya pada pengalaman hidup sebagai sumur bahan cerita. Bagi dia, menulis adalah perkara keberanian. “Menulis itu persoalan individu. Seperti orang masuk ke rimba belantara, dia sendirian. Memutuskan sendirian,” kata Pram (halaman 4)
Karena semua pengalaman hidup adalah bahan bagi pengarang, proses kreatif baginya adalah kelihaian membuka-tutup klep bawah sadar. Setiap pribadi membawa bagasi pengalaman yang kaya dan semua itu berdiam di bawah sadar. Setiap orang juga mewarisi jarring laba-laba pengalaman ribuan tahun dari manusia sebelumnya.
Menulis, bagi Pram, adalah juga sebuah proses biokimia. Pengarang menggali bahan di bawah sadar, meneteskannya dengan pemikiran, dan mengolahnya kembali menjadi cerita. Pram menganggap semua tulisannya adalah anak rohani yang boleh ditafsirkan sebebasnya oleh pembaca. Setiap karya sastra itu hidup bagi dirinya sendiri, tak perlu lagi campur tangan pengarang.
Jiwa Merdeka
Kesan sendirian dan melawan hampir pada setiap bagian buku ini. Dia mengatakan, karakternya itu adalah hasil tempaan ibunya yang mendidiknya agar tak menjadi orang yang meminta-minta. Bagi Pram belia, hal itu cukup kuat membekas. “Jadilah majikan atas dirimu sendiri,” demikian pesan ibunda Pram. Kelak Pram membawa pesan itu dalam melakoni hidupnya. Dia tak ingin didikte siapa pun, tidak oleh kekuasaan politik dan agama.
Satu fragmen menarik dari buku ini adalah napas tilas Pram tatkala pulang ke kampungnya di Blora, Jawa Tengah, pada 2003. Pram sempat mengunjungi kembali lokasi sekolah Institut Boedi Oetomo (IBO), tempat ayahnya dulu mengajar. Tempat itu sudah menjadi SMP 5 Blora dan dia menolak masuk ke dalamnya karena kayu jati yang menjadi tiang sekolah itu telah hilang, di-tilep entah siapa.
Di Blora, dia juga mengajak penulis menilik kembali pohon jarak di sebuah pekuburan, tempatnya pernah merasa terhina oleh perkataan ayahnya. Dia dibilang bodoh dan dihukum menggulang di kelas 7 SD meskipun telah lulus. Namun, Pram kecewa karena lokasi pekuburan telah jadi perumahan. Dia lalu menceritakan kembali kisah pedih zaman kanak-kanak itu. Seakan peristiwa itu baru saja berlalu. Pram pun menangis. (halaman 387).
Pram memang telah meninggal lima tahun silam. Akan tetapi, kelugasan dia bicara apa adanya menjadikan buku ini penting bagi siapapun yang ingin menyelami jagat batin pengarang besar Indonesia itu. Pram telah melakoni hidupnya dengan berani berjiwa merdeka dan menolak menjadi pecundang yang hipokrit.
Nezar Patria, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Kompas, 20 November 2011